Rabu, 08 April 2009

Sajian Utama
SARIRA
( Penghormatan Terhadap Relik )

Oleh : Yl. Bhadra Vira


Sebenarnya relik itu apa ? Apa harus berbentuk bulat putih, atau bisa bermacam-macam? Apa yang menyebabkan seseorang mempunyai relik?
Apa setiap orang suci pasti mempunyai relik? Mengapa Boddhidarma tidak?


Kata relik sering kita dengar tetapi, masalahnya relik dilingkungan agama Buddha agaknya belum begitu banyak dipelajari orang. Karya perdana yang mencoba membahas hal ini secara panjang lebar berasal dari rangkaian tulisan J.F Fleet yang dimuat dalam Journal of the royal Asiatic Society of Gread Britain and Ireland tahun 1906 dan 1907. Ada selang cukup panjang sebelum peneliti berikutnya, Dharmaratna Herath, menyelidiki dan mempertahankan disertadi pada tahun 1974 tentang hubungan antara relik gigi Buddha dan politik di Sri Lanka. Dua dekade kemudian muncul disertadi Kevin Trainor yang mempelajari peran relik Buddha dalam komunitas Theravada dan terbit tahun 1997. Laporan terakhir mendapat sambutan hangat dari kalangan akademi karena menyertakan studi tekstual dan lapangan yang komprehensif. Namun, seperti yang juga ditegaskan oleh Trainor, kebanyakan penelitian ini tidak mengikutsertakan studi tentang relik jasmani para Arahat atau siswa Buddha belakangan. Mengenai hal ini Trainor merujuk ke karya Stanley J. Tambiah dan Reginald A.Ray.

Dalam lingkungan agama Buddha, kata relik pada umumnya berasal dari terjemahan kata Sanskerta oe ar ra. Dalam bentuk tunggal, kata oe ar ra berarti ”jasmani”, tetapi dalam bentuk jamak ia merujuk kepada ”relik”. Selain itu, ada pula kata dh tu yang mengikuti konteksnya juga bisa diterjemahkan menjadi ”relik”. Kemudian, relik disini pada umumnya mengacu ke relik yang berasal dari Sakyamuni dan biasanya disimpan dalam sebuah stupa. Walaupun begitu, stupa relik Buddha Sakyamuni agaknya bukan stupa Buddha pertama yang dikenal di lingkungan agama Buddha. Mengikuti jenisnya, kaum Theravada mengelompokkannya menjadi tiga jenis relik, yaitu relik jasmani (tulang, gigi, jari), relik sarana (pohon bodhi), dan relik peringatan (arca Buddha). Tetapi, Buddhaghosa dalam Samantapasadika menunjukkan bahwa relik Buddha berwujud seperti mutiara pilihan.


Apakah relik itu ?istilah sankrit untuk relik adalah sarira (dalam bentuk jamak) maupun dhatu (dalam kontek tertentu). Relik adalah sisa jasmani yang diperoleh setelah proses kremasi. Bentuk dan warnanya bisa bisa bermacam-macam.

Apakah semua Arahat mempunyai relik?
Tidak, menurut penjelasan Ajahn Maha Boowa ada dua pencapaian kearahatan, yaitu secara bertahap dan secara langsung. Jenis Arahat yang pertama berpeluang lebih banyak untuk menciptakan relik ketika jenazahnya dikremasi. Batin yang suci mampu membersihkan tubuh jasmani. Para Anagami yang bermasa panjang sebelum mencapai kearahatannya punya kesempatan lebih besar lewat proses meditasi sangat luhur berulangkali untuk membersihkan tubuhnya.

Benarkah relik dapat berubah?
Ya, Menurut Acarya Hsu Yun ukuran dan warna relik dapat berubah-ubah sesuai dengan indria pengunjung dan kawasannya. Bahkan abu jenazah bisa berubah menjadi relik setelah melewati suatu selang waktu, seperti yang terjadi pada abu jenazah Ajhn Mun. Ajahn Maha Boowa juga bercerita bahwa ada pula kasus-kasus yang menunjukkan bahwa relik-relik itu bisa beranak dan sebaliknya bergabung menjadi satu. Secara demikian biliau berpendapat bahwa relik bisa pula datang dan pergi secara gaib.

Mengapa ada tradisi pemujaan relik?Mengikuti legendanya, bentuk pemujaan ini sudah terjadi pada masa Buddha Sakyamuni hidup, lalu, umumnya orang tahu tentang kisah relik Buddha Sakyamuni yang dibagikan. Relik tersebut disimpan dalam stupa. Walaupun begitu, stupa relik Buddha Sakyamuni agaknya bukan yang pertama dikenal dilingkungan agama Buddha. Berdasarkan sumber kanonik, beberapa pakar percaya bahwa semasa Buddha Sakyamuni masih hidup ada stupa yang dibangun buat para siswanya. Kemudidan, pemujaan relik seperti ini sepertinya berakulturasi dengan tradisi yang berlaku waktu itu di India, khususnya buat para Chakavati atau raja agung. Bentuk pemujaan ini berlangsung setelah mendapat dukungan Raja Asoka, atau bahkan setelah masa itu?

Apakah manfaat dari Relik ?
Relik Buddha dan para siswa suci merupakan imbol kualitas Kebuddhaan. Relik juga melambangkan bahwa Buddha dan para siswa selalu memutar Roda Dharma tanpa henti. Relik juga merupakan salah satu bukti bahwa pencapaian kesucian dan pencerahan adalah hal yang memungkinkan.
Relik membawa energi positif yang bisa menginspirasikan kebajikan dan mengurangi hal-hal negatif. Dalam kehidupan, pikiran kita sering tercemari oleh ketamakan, kebencian, dan kegelapan batin. Jika kita melihat relik para suciawan, kita akanteringat oleh sifat-sifat kesucian dan kita akan terinspirasi terus melangkah menuju Kebuddhaan. Dengan kata lain, jika kita memiliki keyakinan terhadap relik para suciawan, ini ibaratnya Buddha selalu hidup di dalam pikiran kita. Hal ini akan membantu mengatasi berbagasi masalah dan rintangan, sampai kita mencapai Pembebasan Akhir (Nibbana).

Bagaimana terjadinya Relik ?
Para pelaksana Buddha Dharma yang tekun dalam mempelajari dan melaksanakan Dhamma, khususnya dengan melatih meditasi, mereka akan menggunakan energi pikirannya secara maksimal untuk berkonsentrasi. Akibatnya, energi pikiran murni yang mereka pancarkan itu terserap oleh bagian-bagian tubuhnya sendiri. Selama bertahun-tahun tubuhnya diliputi oleh pikiran yang dahsyat ini. Karena itulah, ketika mereka meninggal dunia, beberapa bagian tubuhnya yang telah banyak menyerap energi ini menjadi bentuk, mengkristal, inilah yang disebut relik.
Relik dalam agama Buddha disebut juga ”Saririka Dhatu”. Istilah ini terjadi dari dua kata yaitu ”Saririka” yang artinya jasmani dan Dhatu yang artinya susunan. Jadi, Relik sebenarnya merupakan sisa jasmani dari seseorang yang dipercaya telah mencapai tingkat tertinggi dalam pelaksanaan Ajaran Sang Buddha Gotama. Relik ini bisa merupakan rambut, gigi, kuku, bulu, tulang maupun abu sisa kremasi.
Relik adalah hasil dari pelatihan moralitas, kosentrasi dan kebijaksanaan, sulit diperoleh, merupakan ladang kebajikan yang tertinggi. Relik terbagi menjadi 2 jenis, yaitu : butir/bunga relik dan relik tubuh. Benda –benda berbentuk kristal yang tersisa dari proses pembakaran jenazah (sisa tulang, gigi, dan sebagainya), untuk yang berbentuk bulatan atau butiran beras disebut relik”, sedang yang berbentuk tidak beraturan disebut ”bunga relik”, relik ini bersifat sangat keras.
Dalam pandangan Mahayana, mereka yang mampu membantuk relik tubuh diberi kehormatan dengan sebutan ”Roushen Pusa” (Bodhisattva Relik Tubuh).

Pandangan Ilmiah terhadap Relik Tubuh ?
Sejak zaman dahulu hingga sekarang, tubuh manusia yang tidak lapuk tiada hentinya menjadi obyek penelitian yang menarik bagi para ilmuan dan bidang kedokteran. Ilmuan dari Amerika, George Hunt, menuliskan pandangan tentang relik tubuh Master Miaozhi sebagai berikut : ”Yang terlihat hanyalah Master Chan dalam posisi meditasi duduk, kedua matanya memiliki spirit, bagaikan masih hidup. Pengawetan mumi umumnya adalah tubuh terbungkus yang dibentuk oleh manusia dengan menggunakan obat, ini tidak terlalu mengherankan. Namun tubuh yang dibiarkan terletak dalam udara bebas dan tidak lapuk selama ribuan tahun, benar-benar adalah satu-satunya keajaiban dalam dunia. Setelah diteliti, perutnya ditemukkan serapan bahan pengawet,mulut dan anus tertutup rapat, mungkin inilah penyebab yang membuat tubuh ini tidak lapuk. Mengenai ramuan tumbuhan yang diminumnya sebelum meninggal, ini sulit ditelusuri.





SARIRA

Sajian Utama
SARIRA
( Penghormatan Terhadap Relik )

Oleh : Yl. Bhadra Vira


Sebenarnya relik itu apa ? Apa harus berbentuk bulat putih, atau bisa bermacam-macam? Apa yang menyebabkan seseorang mempunyai relik?
Apa setiap orang suci pasti mempunyai relik? Mengapa Boddhidarma tidak?


Kata relik sering kita dengar tetapi, masalahnya relik dilingkungan agama Buddha agaknya belum begitu banyak dipelajari orang. Karya perdana yang mencoba membahas hal ini secara panjang lebar berasal dari rangkaian tulisan J.F Fleet yang dimuat dalam Journal of the royal Asiatic Society of Gread Britain and Ireland tahun 1906 dan 1907. Ada selang cukup panjang sebelum peneliti berikutnya, Dharmaratna Herath, menyelidiki dan mempertahankan disertadi pada tahun 1974 tentang hubungan antara relik gigi Buddha dan politik di Sri Lanka. Dua dekade kemudian muncul disertadi Kevin Trainor yang mempelajari peran relik Buddha dalam komunitas Theravada dan terbit tahun 1997. Laporan terakhir mendapat sambutan hangat dari kalangan akademi karena menyertakan studi tekstual dan lapangan yang komprehensif. Namun, seperti yang juga ditegaskan oleh Trainor, kebanyakan penelitian ini tidak mengikutsertakan studi tentang relik jasmani para Arahat atau siswa Buddha belakangan. Mengenai hal ini Trainor merujuk ke karya Stanley J. Tambiah dan Reginald A.Ray.

Dalam lingkungan agama Buddha, kata relik pada umumnya berasal dari terjemahan kata Sanskerta oe ar ra. Dalam bentuk tunggal, kata oe ar ra berarti ”jasmani”, tetapi dalam bentuk jamak ia merujuk kepada ”relik”. Selain itu, ada pula kata dh tu yang mengikuti konteksnya juga bisa diterjemahkan menjadi ”relik”. Kemudian, relik disini pada umumnya mengacu ke relik yang berasal dari Sakyamuni dan biasanya disimpan dalam sebuah stupa. Walaupun begitu, stupa relik Buddha Sakyamuni agaknya bukan stupa Buddha pertama yang dikenal di lingkungan agama Buddha. Mengikuti jenisnya, kaum Theravada mengelompokkannya menjadi tiga jenis relik, yaitu relik jasmani (tulang, gigi, jari), relik sarana (pohon bodhi), dan relik peringatan (arca Buddha). Tetapi, Buddhaghosa dalam Samantapasadika menunjukkan bahwa relik Buddha berwujud seperti mutiara pilihan.


Apakah relik itu ?istilah sankrit untuk relik adalah sarira (dalam bentuk jamak) maupun dhatu (dalam kontek tertentu). Relik adalah sisa jasmani yang diperoleh setelah proses kremasi. Bentuk dan warnanya bisa bisa bermacam-macam.

Apakah semua Arahat mempunyai relik?
Tidak, menurut penjelasan Ajahn Maha Boowa ada dua pencapaian kearahatan, yaitu secara bertahap dan secara langsung. Jenis Arahat yang pertama berpeluang lebih banyak untuk menciptakan relik ketika jenazahnya dikremasi. Batin yang suci mampu membersihkan tubuh jasmani. Para Anagami yang bermasa panjang sebelum mencapai kearahatannya punya kesempatan lebih besar lewat proses meditasi sangat luhur berulangkali untuk membersihkan tubuhnya.

Benarkah relik dapat berubah?
Ya, Menurut Acarya Hsu Yun ukuran dan warna relik dapat berubah-ubah sesuai dengan indria pengunjung dan kawasannya. Bahkan abu jenazah bisa berubah menjadi relik setelah melewati suatu selang waktu, seperti yang terjadi pada abu jenazah Ajhn Mun. Ajahn Maha Boowa juga bercerita bahwa ada pula kasus-kasus yang menunjukkan bahwa relik-relik itu bisa beranak dan sebaliknya bergabung menjadi satu. Secara demikian biliau berpendapat bahwa relik bisa pula datang dan pergi secara gaib.

Mengapa ada tradisi pemujaan relik?Mengikuti legendanya, bentuk pemujaan ini sudah terjadi pada masa Buddha Sakyamuni hidup, lalu, umumnya orang tahu tentang kisah relik Buddha Sakyamuni yang dibagikan. Relik tersebut disimpan dalam stupa. Walaupun begitu, stupa relik Buddha Sakyamuni agaknya bukan yang pertama dikenal dilingkungan agama Buddha. Berdasarkan sumber kanonik, beberapa pakar percaya bahwa semasa Buddha Sakyamuni masih hidup ada stupa yang dibangun buat para siswanya. Kemudidan, pemujaan relik seperti ini sepertinya berakulturasi dengan tradisi yang berlaku waktu itu di India, khususnya buat para Chakavati atau raja agung. Bentuk pemujaan ini berlangsung setelah mendapat dukungan Raja Asoka, atau bahkan setelah masa itu?

Apakah manfaat dari Relik ?
Relik Buddha dan para siswa suci merupakan imbol kualitas Kebuddhaan. Relik juga melambangkan bahwa Buddha dan para siswa selalu memutar Roda Dharma tanpa henti. Relik juga merupakan salah satu bukti bahwa pencapaian kesucian dan pencerahan adalah hal yang memungkinkan.
Relik membawa energi positif yang bisa menginspirasikan kebajikan dan mengurangi hal-hal negatif. Dalam kehidupan, pikiran kita sering tercemari oleh ketamakan, kebencian, dan kegelapan batin. Jika kita melihat relik para suciawan, kita akanteringat oleh sifat-sifat kesucian dan kita akan terinspirasi terus melangkah menuju Kebuddhaan. Dengan kata lain, jika kita memiliki keyakinan terhadap relik para suciawan, ini ibaratnya Buddha selalu hidup di dalam pikiran kita. Hal ini akan membantu mengatasi berbagasi masalah dan rintangan, sampai kita mencapai Pembebasan Akhir (Nibbana).

Bagaimana terjadinya Relik ?
Para pelaksana Buddha Dharma yang tekun dalam mempelajari dan melaksanakan Dhamma, khususnya dengan melatih meditasi, mereka akan menggunakan energi pikirannya secara maksimal untuk berkonsentrasi. Akibatnya, energi pikiran murni yang mereka pancarkan itu terserap oleh bagian-bagian tubuhnya sendiri. Selama bertahun-tahun tubuhnya diliputi oleh pikiran yang dahsyat ini. Karena itulah, ketika mereka meninggal dunia, beberapa bagian tubuhnya yang telah banyak menyerap energi ini menjadi bentuk, mengkristal, inilah yang disebut relik.
Relik dalam agama Buddha disebut juga ”Saririka Dhatu”. Istilah ini terjadi dari dua kata yaitu ”Saririka” yang artinya jasmani dan Dhatu yang artinya susunan. Jadi, Relik sebenarnya merupakan sisa jasmani dari seseorang yang dipercaya telah mencapai tingkat tertinggi dalam pelaksanaan Ajaran Sang Buddha Gotama. Relik ini bisa merupakan rambut, gigi, kuku, bulu, tulang maupun abu sisa kremasi.
Relik adalah hasil dari pelatihan moralitas, kosentrasi dan kebijaksanaan, sulit diperoleh, merupakan ladang kebajikan yang tertinggi. Relik terbagi menjadi 2 jenis, yaitu : butir/bunga relik dan relik tubuh. Benda –benda berbentuk kristal yang tersisa dari proses pembakaran jenazah (sisa tulang, gigi, dan sebagainya), untuk yang berbentuk bulatan atau butiran beras disebut relik”, sedang yang berbentuk tidak beraturan disebut ”bunga relik”, relik ini bersifat sangat keras.
Dalam pandangan Mahayana, mereka yang mampu membantuk relik tubuh diberi kehormatan dengan sebutan ”Roushen Pusa” (Bodhisattva Relik Tubuh).

Pandangan Ilmiah terhadap Relik Tubuh ?
Sejak zaman dahulu hingga sekarang, tubuh manusia yang tidak lapuk tiada hentinya menjadi obyek penelitian yang menarik bagi para ilmuan dan bidang kedokteran. Ilmuan dari Amerika, George Hunt, menuliskan pandangan tentang relik tubuh Master Miaozhi sebagai berikut : ”Yang terlihat hanyalah Master Chan dalam posisi meditasi duduk, kedua matanya memiliki spirit, bagaikan masih hidup. Pengawetan mumi umumnya adalah tubuh terbungkus yang dibentuk oleh manusia dengan menggunakan obat, ini tidak terlalu mengherankan. Namun tubuh yang dibiarkan terletak dalam udara bebas dan tidak lapuk selama ribuan tahun, benar-benar adalah satu-satunya keajaiban dalam dunia. Setelah diteliti, perutnya ditemukkan serapan bahan pengawet,mulut dan anus tertutup rapat, mungkin inilah penyebab yang membuat tubuh ini tidak lapuk. Mengenai ramuan tumbuhan yang diminumnya sebelum meninggal, ini sulit ditelusuri.






Bhadra Vira

Mengenai Saya