Gempa Bumi Ditinjau Dari Sudut Pandang
Agama Buddha
Yaṅkiñci samudayadhammaṁ sabbantaṁ nirodhadhammaṁ”
Segala sesuatu yang timbul karena suatu sebab, didalamnya pun terdapat sebab yang membuat ia musnah kembali. (Dhammacakkappavattana Sutta)
By :Bhadra Vira
Sebagai makhluk hidup yang menghuni bumi ini, kita tidak asing lagi dengan peristiwa terjadinya gempa bumi. Gempa bumi sebagai peristiwa alam merupakan kejadian yang sering terjadi dan wajar. Kadang-kadang kita merasakan getaran gempa bumi yang lemah, kadang-kadang kuat. Bila gempa bumi menimbulkan getaran yang kuat sudah barang tentu akan memporak-porandakan segalanya yang ada di bumi ini. Seperti yang terjadi tahun ini, pada tanggal 12 September 2007 gempa berkekuatan 7,9 skala richter mengguncang Provinsi Bengkulu yang mengakibatkan puluhan orang luka-luka, puluhan rumah, kantor pemerintahan dan rumah sakit Bengkulu rusak parah. Gempa yang juga dirasakan hampir di seluruh pulau Sumatera, Jakarta, bahkan Singapura ini menimbulkan kerusakan bangunan di Bengkulu, Pagar Alam (Sumatera Selatan) hingga Padang, Sumatera Barat.
Sejak jaman dahulu, bila terjadi gempa bumi, masyarakat Indonesia menganggap bahwa itu sebuah pertanda atau peringatan bagi kita, entah pertanda baik atau buruk. Dalam memberikan tanggapan ini tergantung dari orang yang menginterprestasikannya. Tanggapan masyarakat tentu berbeda dengan tanggapan agama Buddha. Menurut tanggapan masyarakat, gempa bumi merupakan suatu legenda yang dianggap suatu kebenaran yang terus diyakini hingga sekarang ini. Sebagai contoh, menurut orang jaman dahulu, apabila terjadi gempa, itu pertanda bahwa ada lini/lindu yang bangun dari tidurnya. Pada saat itu masyarakat keluar dari rumahnya sambil meneriakkan; aya…aya…aya…dan seterusnya, agar lini mengetahui bahwa manusia di dunia ini masih ada. Dengan demikian gempa akan mereda atau hilang. Konon diceritakan bahwa lini adalah raksasa penghuni bumi, ketika ia bergerak saja akan menimbulkan gempa bumi yang sangat dahsyat. Oleh karena itulah dianggap sebagai gempa bumi. Ada lagi yang menganggap bahwa gempa bumi adalah suatu pertanda bahwa dunia ini sebentar lagi akan kiamat. Lain halnya dengan pandangan masyarakat Jawa. Menurut legenda yang terjadi di masyarakat Jawa, bumi ini disangga oleh seekor ular naga raksasa. Ular ini sangat besar sekali yang bernama Hyang Anantaboga. Karena merasa lelah dan mau merubah posisinya, ular ini bergerak sehingga menimbulkan bumi berguncang dan terjadilah gempa bumi yang sangat dahsyat sekali.
Kita telah mendengar tanggapan yang terjadi di masyarakat. Karena itulah kita akan meninjau gempa bumi menurut pandangan agama Buddha yang akan memberikan pandangan dengan jelas sehingga akan menimbulkan keyakinan agama Buddha. Di samping itu, akan meluruskan terjadinya salah pandangan terhadap gempa bumi dan mengetahui dengan pasti sebab-sebabnya, sehingga kita tak akan terpengaruh dengan cerita atau legenda yang berkembang di masyarakat dan dapat membuktikan kebenarannya secara agama Buddha dengan jalan membandingkan pendapat masyarakat dengan agama Buddha.
Agama Buddha sebenarnya sudah sangat lama mengetahui hal ini sesuai dengan jawaban yang diberikan oleh Sang Buddha lebih dari dua ribu lima ratus tahun yang lalu, dan jawaban ini sangat tepat dengan ilmu pengetahuan. Dalam Mahāparinibbāna Sutta, Sang Buddha pada waktu itu menjelaskan kepada Ananda tentang sebab-sebab terjadinya gempa bumi. ”Ananda ada delapan alasan sampai terjadinya gempa bumi yang dahsyat itu. Apakah delapan sebab itu?
1. Bumi yang luas ini terbentuk dari zat cair, zat cair terbentuk dari udara, dan udara ada di angkasa. Apabila udara bertiup dengan dahsyatnya, maka zat cair terguncang. Keguncangan zat cair ini menyebabkan bumi bergetar.
2. Apabila ada seorang petapa brahmana yang memiliki kekuatan batin mahabesar, seorang yang telah memperoleh kekuatan untuk mengendalikan pikiran, atau sesosok dewata yang mahakuasa, yang mahatahu mengembangkan pemusatan pikirannya yang hebat pada unsur bumi ini, dan pada suatu tingkatan yang terbatas pada unsur zat cair, ia juga dapat mengakibatkan bumi bergetar.
3. Sang Bodhisatta turun dari surga Tusita dan masuk ke rahim (kandungan) seorang ibu dengan kesadaran penuh dan pikiran terpusat.
4. Sang Bodhisatta keluar dari rahim ibunya dengan penuh kesadaran dan pikiran terpusat.
5. Sang Tathagata memperoleh penerangan agung, penerangan sempurna yang tiada bandingnya.
6. Sang Tathagata menggerakkan roda Dhamma yang gilang-gemilang.
7. Sang Tathagata mengambil keputusan untuk parinibbāna mengakhiri hidupnya.
8. Apabila Sang Tathagata tiba saatnya parinibbāna.
Inilah delapan sebab bagi terjadinya gempa bumi. Dari delapan sebab di atas, terjadinya gempa bumi tentu tidak dengan sendirinya, pasti ada sebabnya. Sebab gempa bumi menurut agama Buddha adalah hukum alam semesta yang ada dan mutlak berlaku di tiga puluh satu (31) alam kehidupan. Untuk mengetahui cara kerja hukum ini, di sini akan diuraikan menjadi lima yaitu:
1. Utu niyāma
Hukum universal tentang energi, yang mengatur temperatur, cuaca, terbentuknya bumi, hancurnya bumi, tata surya, pertumbuhan manusia, binatang dan pohon, gempa bumi, gunung meletus, angina, hujan, halilintar, dan sebagainya.
2. Bīja niyāma
Hukum universal yang berkaitan dengan tumbuh-tumbuhan yaitu bagaimana biji, stek, batang, pucuk daun dapat bertunas atau tumbuh, berkembang dan berubah.
3. Kamma niyāma
Hukum universal yang mengatur tentang perbuatan, hukum sebab-akibat, dan hukum moral.
4. Citta niyāma
Hukum universal tentang pikiran atau batin. Pikiran manusia sangatlah luas, beraneka ragam dan rumit sekali untuk diketahui dan dimengerti. Ada orang memiliki pikiran dan batin yang lemah, kuat, emosional, dan sebagainya. Bila pikiran dikembangkan, seseorang menjadi pintar, memiliki ingatan kuat, memiliki kekuatan batin, hingga mencapai kesucian.
5. Dhamma niyāma
Hukum universal tentang segala sesuatu yang tidak dapat diatur oleh keempat niyāma tersebut. Hukum tertib terjadinya persamaan dari suatu gejala yang khas, misalnya: terjadinya keajaiban alam pada waktu seorang Bodhisatta hendak mengakhiri hidupnya sebagai seorang calon Buddha, pada saat ia akan terlahir untuk menjadi Buddha. Hukum gaya berat (gravitasi) dan hukum alam sejenis lainnya, sebab-sebab dari pada keselarasan dan sebagainya, termasuk hukum ini.
Dengan mengikuti cara kerja hukum semesta ini jelaslah bahwa sebab gempa bumi yang pertama diatur oleh hukum utu niyāma. Gempa bumi yang diakibatkan oleh sebab yang pertama, bila getarannya sangat kuat akan memporak-porandakan segala yang ada di muka bumi ini. Tetapi bila gempa bumi yang diakibatkan oleh sebab yang kedua sampai kedelapan, meskipun getarannya begitu kuat dan hebat serta dibarengi oleh petir yang menyambar-nyambar tidak akan menimbulkan kerusakan maupun korban jiwa.
Demikianlah uraian tentang gempa bumi ditinjau dari sudut pandang agama Buddha. Semoga dapat dimengerti dengan jelas dan dapat menambah wawasan yang luas terhadap Buddha Dhamma.